Dari Coklat Menjadi Cinta

Hari ini awan di langit tak berbintang, kecerahan malam tertutup awan hitam seolah pertanda akan turun hujan. Aku yang sedari tadi memperhatikan suasana alam yang akhir-akhir ini sering kali tak menentu, kadang hujan tapi kadang tiba-tiba hangatnya mentari menerobos rintikkan hujan yang tengah berlalu disiang hari.
Kulihat jam di tangan menunjukkan pukul 19.00, seharusnya sudah sejak sore tadi aku pulang kantor, namun pekerjaan yang menumpuk membuatku tak kuasa untuk meninggalkannya.



Kemana yah hari ini, langsung pulang deh, gumamku dalam hati sembari berjalan ke parkiran.
Sambil kunyalakan mesin motor untuk sekedar memanaskannya sebentar, aku teringat akan janji yang telah kubuat dengan seseorang. Lebih tepatnya dengan seorang penjual coklat yang menjajakan jualannya lewat facebook. Konon katanya makan coklat bisa menghilangkan stress. Aku memang sedang merasa sedikit stress akhir-akhir ini, karena pekerjaan yang tak kunjung usai, karena itu aku tertarik membelinya.

Ternyata penjual coklat ini alumni dari sekolah yang sama sewaktu aku SMA dulu. Dia jauh lebih muda dariku tentunya. Dari hasil chatting dengannya, berikut negosiasi tentang dimana dan kapan kita akan bertemu nampaknya dia memang serius sekali berjualan. Dan aku pun menjanjikan untuk mengambil coklat pesananku hari ini di depan sekolah SMA kami dulu.
Kulihat ponselku, ada beberapa pesan singkat darinya yang tak sempat kubalas.

“Kaka jadi gak ketemunya hari ini”, itu salah satu pesan yang kubaca.

Kubalas, “iya jadi, ini lagi jalan”.

Perjalanan dari kantor ke tempat aku janjian dengannya sekitar 30 menit, sesampainya di sana aku tak menemukkan siapapun. Kuparkirkan motor, dan duduk menunggu, tak lama ponselku berdering, kuangkat dan terdengar suara dari sebrang sana “ka, dimana? Aku udah nyampe nih”

Kutengok kanan kiri sembari melambaikan tangan pertanda bahwa ini aku. Telepon terputus dan ada satu motor yang mengarah padaku, nampaknya ini dia. Benar saja, dia si penjual coklat.
Kesan pertama lihat dia, kocak. Dengan muka bulatnya dia tersenyum-senyum girang karena katanya aku pembeli yang pertama.

“Nih ka”, ucapnya sambil memberikan coklat itu padaku.

Kuambil coklatnya dan kuserahkan uang 30.000 kepada Lusi, ya namanya Lusi. Tidak ada perkenalan secara formal, aku tahu nama dia dari akun facebook, dia pun sama mengenal namaku Aray dari facebook juga. Setelah perjumpaanku dengannya yang pertama itu, tak ada yang aneh. Kurasa sebatas pertemuan pembeli dan penjual saja.

Beberapa hari berlalu, masih saja aku disibukkan dengan setumpuk pekerjaan yang hampir membuatku jenuh. Sambil kerja sambil online dan kulihat Lusi si penjual coklat itupun sedang online.

Kumenyapanya lewat chat room, “Coklatnya enak, cuma yang putih kurang kerasa susunya”
Tak lama dia membalas chatku, “Makasih ka masukkannya, ntar aku sampein ke kakak aku”.
Kubalas “oh kakanya yang bikin? Titip salam buat kakanya ;p”.
Dia balas, “siip deh, tapi jangan naksir sama kaka aku yah udah nikah soalnya hehehe”.
“Memang kalo titip salam tuh naksir yah? ” ku balas pesannya sembari tersenyum.
Dia balas dengan menawariku untuk membeli coklatnya lagi, kugoda dia dengan bilang kalau beli satu lagi berarti bonus jalan yah, namun dia hanya tertawa.

Dua minggu setelah pertemuanku yang terakhir dengannya, aku janjian lagi untuk mengambil coklat. Namun kali ini akan kuajak dia jalan-jalan sebentar, kebetulan rasanya suntuk sekali bekerja terus menerus.
Dia tidak seperti gadis biasanya yang aku kenal, kalau yang lain sesering mungkin mengirimiku pesan singkat yang isinya hanya menanyakan lagi apa atau sekedar perhatian-perhatian kecil yang kadang enggan untukku balas, dia tidak. Dia tidak pernah mengirimiku pesan jika tidak ada hal yang penting. Justru aku yang berharap jika ia akan mengirimiku pesan singkat seperti yang lain, pasti akan kubalas.

Aku janji menjemput Lusi sepulang ia kerja malam ini.
Lusi selain jualan coklat dia juga bekerja, dia bilang dia juga berniat ingin meneruskan sekolahnya, dan semangatnya ini yang aku suka. Gadis ini tidak cantik, hanya menarik perhatianku untuk mengetahui hidupnya lebih jauh. Setiap kali aku berkeluh kesah padanya, pasti dia memberiku semangat positif untuk lebih bersyukur ketimbang mengeluh dan mengeluh.
Sejak sampai di tempat kerjanya Lusi, sambil menunggunya pulang aku melamunkan dia sampai terbang entah kemana pikiran ini. Aku pun sampai tak sadari jika sedari tadi Lusi sudah ada di hadapku
.
“Hayoo kaka, jangan suka ngelamun ! Kemaren ayam tetangga aku mati waktu lagi ngelamun” sapaan Lusi membuatku sedikit kaget.
Lalu kubilang, “ahh masa ngelamun bisa bikin ayam mati sih...ngarang kamu nih !”.
“Iyah, soalnya si ayam ngelamun di tengah jalan terus ketabrak mobil, mati deh ka !haha” jawabnya sambil tertawa lepas. Dia sosok gadis yang apa adanya, gak jaim(jaga image). Bertambahlah kadar kesukaanku padanya.
Kita hanya jalan-jalan sebentar dan kuajak dia makan lalu kuantar dia sampai ke rumahnya. Pertemuan singkat, namun penuh arti buatku. Aku rasa aku memang benar-benar menyukai Lusi. Aku ingin mendapatkan hatinya.

***

Setiap hari aku selalu memikirkannya disela-sela kesibukkan kubekerja, kadang kusempatkan diri untuk menjemput dan mengantarkannya pulang ke rumah, itupun sekali waktu saja. Sejauh ini aku belum mengutarakan isi hatiku padanya, tapi dari cara dia membalas perhatianku, aku sudah dapat menebak kalau dia juga pasti suka sama aku. Belum lagi dari statusnya di facebook yang kadang sepertinya dia kebingungan tentang perasaanku ke dia sebenarnya, namun tak pernah ia nyatakan kepadaku secara langsung.
Saatnya tiba, aku ingin mengutarakan isi hatiku padanya dengan spesial. Lusi bilang hari ini dia libur, kebetulan aku pulang cepet hari ini. Pukul setengah tiga aku sudah keluar kantor.

Kukirimkan pesan singkat pada Lusi, “ada acara gak? Maen yuk pengen ngajak ke suatu tempat deh”.
Dia balas, “gak ada, mau kemana emang?”.
“Udah ikut aja, aku jemput sekarang yah” balasku.
Sekitar pukul empat sore aku sampai di rumah Lusi, karena jarak dari kantorku ke rumah Lusi lumayan jauh. Lusi sudah siap-siap rupanya, nampaknya ia tak ingin melihat aku menunggu lama. Setelah berpamitan dengan orangtuanya bergegaslah aku dan Lusi meninggalkan rumah.
Di jalan Lusi bertanya “mau kemana sih ka?”.
Aku hanya menjawab, “udah diem, tidur aja nanti kalau udah nyampe aku bangunin”. Setelah itu tak kudengar lagi suaranya.
Malam itu aku mengajak Lusi ke tempat yang dia sering bilang ingin sekali ia datangi, tempat dimana ia bisa melihat kilauan lampu-lampu kota. Yah dataran tinggi, puncak tentunya.

Tepat saat adzan maghrib berkumandang kami sampai di Masjid Atta’awun, istirahat sejenak lalu salat maghrib dan meneruskan perjalanan. Kuajak Lusi ke Bukit Paralayang, kukatakan padanya kalau dari atas sini dia bisa puas melihat hamparan kilauan lampu kota sejauh mata memandang. Saat itu juga, Lusi takjub dan berucap “Subhanallah”.

Dia terperangah terpesona melihat keindahan alam yang dia inginkan dan baru kali ini dia melihatnya. Kutinggalkan dia sejenak untuk meminjam gitar pada salah satu pedagang yang ada di sekitar, kurasa Lusi tak sadar akan hal itu.
Kupetikkan alunan gitar dan berjalan perlahan mendekat padanya, Lusi yang sedari tadi tak henti menatap kilauan lampu-lampu mengalihkan pandangannya pada sosok yang sedang mendekat ke arahnya sembari bergitar, yang tak lain itu aku. Kubawakan lagu Ungu – Dirimu Satu yang dia suka. Kulihat ada air menetes dari pelupuk matanya, sepertinya dia terharu.

Rampung satu lagu kunyanyikan, lalu kuutarakan isi hatiku semuanya. Kutumpahkan seluruh perasaanku yang selama ini kupendam.
“Si, dari pertama kita ketemu, aku udah menaruh hati sama kamu. Awalnya aku pikir ini hanya kekagumanku saja, namun seiring kedekatan kita dan semakin jauh aku mengenal kamu rasa itu semakin ada, hadir menjalar menjadi tumbuhan yang kuberi nama cinta, seperti kamu memberi nama coklat jualanmu. Kamu yang selalu kasih semangat buat aku dan kamu yang selalu ada waktu buat aku mengusir rasa sepi yang udah bertahun-tahun aku lewatin sendirian. Gak ada yang bisa aku lakukan lagi yang lebih dari ini buat wanita sespesial kamu. Aku harap kamu mau menghabiskan sisa hidup kamu sama aku, melewati suka duka kehidupan, menjadi pensil warna yang kan warnai hidup aku, menjadi ma’mum yang selalu berdiri di belakang aku, menjadi ibu untuk anak-anakku nanti. Aku sayang kamu, maukan kamu jadi istri aku?”

Selesai aku bicara dan kulihat Lusi hanya terdiam, entah apa yang dipikirkannya saat itu.
Dia hanya tersenyum lalu menatapku dan berkata, “ka aku bukan wanita spesial seperti katamu tadi, aku cuma wanita biasa. Apa yang kakak lakukan udah lebih dari indah, lebih dari yang sering aku bayangkan selama ini. Dari awal aku emang udah suka sama kakak, wanita mana sih yang gak akan suka kenal sama kakak. Untuk pertanyaan yang terakhir, kasih aku jawaban kenapa aku harus nolak jadi istrimu ?”.

Mendengar jawabannya aku tertegun sebentar dan kujawab, “kurasa tak ada, aku merasa sudah pantas menjadi imam untukmu dan yakin untuk memilihmu menjadi pendamping hidupku selamanya”.
Lusi terdiam, lalu mengalir air matanya dan berkata “Aku suka keyakinan yang kamu punya, untuk itu juga aku gak punya alasan untuk menolak kamu, aku mau jadi istrimu ka. Bimbing aku untuk jadi yang lebih baik lagi”. Aku memeluknya erat.
Rasanya saat ini tak ada hal yang lebih menggembirakan selain mendengar jawabannya. Aku janjikan untuk meminang Lusi secepatnya dan akan selalu membahagiakannya, sepanjang waktu yang kupunya. []

No comments