Dear Bapak,

Surat Terakhir Untuk Bapak

"Dear Bapak, Bagaimana kabar Bapak di dalam sana? Lapangkah? Terangkah? Semoga ya pak ..."


Cuma kata-kata itu yang terlintas di benak, setiap kali aku bertandang ke makam Bapak.

Butuh waktu yang cukup lama untuk akhirnya aku merasa bisa menuliskan cerita ini. Awalnya, aku emang gak mau menuliskan cerita ini. Takut sih lebih tepatnya. Takutnya saat harus membacanya lagi, aku hanya akan merasa sedih lagi. Tapi, nyata-nyata, ditulis atau tidak, cerita ini selalu aku baca setiap harinya.

Dan yang kemudian aku pikir, semakin aku gak berani untuk menuliskannya, itu malah menunjukkan seberapa gak beraninya aku untuk menghadapi kenyataan. Dan aku gak mau kaya gitu. Aku harus berani untuk menghadapinya. "Face it like a man", kalau kata iklan pembersih wajah di TV mah.

Aku sadar, gak pernah ada orang yang siap dengan sebuah perpisahan. Apalagi, kalau perpisahan itu terjadi secara tiba-tiba dan tentu tanpa disangka-sangka.

Kamis, 13 Juli 2017.


Awalnya, semua baik-baik aja. Siang itu, Bapak pulang dari kandang, aku baru bangun, dan Ibu ada di kamar. Biasanya kalau sesiang itu Ibu masih di kamar berarti Ibu lagi ngedrop, gula darahnya pasti lagi naik. Seperti biasa, rumah akan jadi ramai kalau Bapak pulang. Terlebih kalau kondisi Ibu lagi begini, Bapak justru makin seneng becandain Ibu. Hal yang “normal” terjadi di rumah aku ya begitu. Dan siang itu, aku sama Bapak masih ketawa-ketawa bareng, ngetawain yang gak jelas, seperti biasanya.

Sampai sekitar 3 jam kemudian, semuanya berubah.

Aku lagi di rumah nenek. Dan Ibu, masih di kamarnya. Bapak sms, katanya, dadanya tiba-tiba terasa sesak sepulang dari kandang. Jadi, pas aku ke rumah nenek itu, Bapak pergi ke kandang (lagi). Aku buru-buru pulang dan mendapati kondisi Bapak sedang terbaring menahan sakit dan pas aku cek badannya panas bangeeeet.

Saat itu, Bapak cuma minta dikerik. Seperti biasa, Bapak kalau sakit emang seringnya minta dikerik aja. Jadi, aku merasa, ya udah, mungkin cuma sakit kaya biasa yang kalau dikerik juga bakal sembuh. Abis dikerik, panasnya turun emang. Tapi, kondisinya belum membaik juga. Badannya masih keliatan lemas, jalan sedikit nafasnya udah mulai tersengal-sengal, apalagi beberapa hari sebelumnya Bapak udah kehilangan nafsu makan.

Tapi sekali lagi aku tegaskan. Saat Bapak sakit itu, aku gak ada kepikiran macam-macam sama sekali. Karena Bapak tuh jaraaaang banget sakit. Pun kalau sakit, paling cuma sebentar. Dan aku sangat terlalu percaya, kalau Bapak itu KUAT, jadi pasti gak akan sampai kenapa-kenapa.

Surat Terakhir Untuk Bapak

Sabtu, 15 Juli 2017.


Untuk pertama kalinya, Bapak akhirnya mau juga dibawa ke dokter. Itupun, cuma mau ke dokter praktek, kukuh gak mau ke Rumah Sakit. Pas dicek, tensi darahnya normal, dan gula darahnya pun normal. Gak banyak yang dokter bilang, tapi waktu itu dokter nyaranin Bapak buat rekam jantung di hari Senin nanti, Bapak mau.

Pulang dari dokter, kita dibekali sejumlah macam obat. Yang kemudian pas sampai rumah langsung Bapak minum, setelah sedikit dipaksa untuk makan nasi terlebih dulu. Gak berapa lama, aku ngerasa Bapak kaya udah mulai baikan. Udah bisa ngobrol kaya biasa.

Tapi, beberapa jam kemudian, semanya berubah (LAGI).

Sekitar jam 11, Bapak ngeluh sakit kepala dan minta obat sakit kepala. Aku kasih, dan aku pikir bakal sembuh deh kebawa tidur juga. Tapi ternyata, selang satu jam kemudian, Bapak tetiba mengeluhkan kepalanya yang terasa sangat sakit. Rieut Jangar, kalau orang sunda bilang mah. Sakit kepala yang banget-banget-banget. Aku mulai panik liat kondisi Bapak kaya gitu. Aku mulai merasa takut Bapak kenapa-kenapa, tapi tetap mencoba percaya kalau Bapak gak akan kenapa-kenapa.

Minggu, 16 Juli 2017.


Sampai jam 3 dini harii, Bapak udah gak teriak-teriak kalau kepalanya sakit. Tapi, justru kondisinya seperti yang setengah sadar. Dan yang bikin sedih, Bapak udah gak bisa diajak bicara lagi. Kondisinya tiba-tiba ngedrop. Ngeliat Bapak kaya gitu, yang aku pikirin saat itu cuma harus sesegera mungkin bawa Bapak ke Rumah Sakit.

Harapan aku cuma, Rumah Sakit pasti jauh lebih tau apa yang harus dilakuin saat Bapak kondisinya lagi kaya gini. Sependek pemikiran aku, Bapak bakal dikasih obat penenang, minimal sampai dokter tau Bapak sakit apa dan harus dikasih obat apa. Tapi nyatanya? Tidak seperti itu. Bahkan SANGAT JAUH dari apa yang aku pikirkan.

Yang ada, setelah merasa “kewalahan” menghadapi Bapak yang “mengamuk” dalam kondisi setengah sadar di Ruang IGD, pihak RS justru merujuk Bapak ke Rumah Sakit lain. Dengan berbagai alasan, tentu. Yang nyatanya, setelah kita pindah Rumah Sakit, butuh waktu sekitar 2 hari untuk pihak RS menyatakan, kondisi Bapak kritis dan HARUSNYA dirawat di ruang ICCU, dan muncul diagnosa baru YANG TERNYATA di RS itu gak ada dokternya. Katakanlah, Bapak awalnya didiagnosa sakit PARU. 2 hari kemudian, pihak RS Paru menyatakan Bapak harus DIRUJUK ke RS yang ada Dokter Syarafnya, yang notabene di RS Paru gak ada dokter syaraf.

Jadi, ke Rumah Sakit juga ujung-ujungnya mah di boola sih emang. Tapi, dalam kondisi kaya gitu, mau ke mana lagi larinya kalau bukan ke Rumah Sakit, kan? Entahlah, saat ini aku cuma berharap, suatu saat, pelayanan kesehatan di Negara ini bisa LEBIH BAIK LAGI. Terutama di layanan-layanan Gawat Daruratnya.

Sejujurnya, aku lebih gak tega dan kasian kalau ngeliat Bapak terbaring sakit kaya kemaren. Bapak aku, yang selama ini aku taunya Bapak itu gagah berani, harus terbaring lemah gak berdaya di tempat tidur Rumah Sakit. Periiih banget rasanya liatnya. Itu adalah hal yang gak pernah aku pikirkan sebelumnya, gak kepikiran bakal terjadi secepat ini. Aku emang terlalu bodoh untuk terlalu percaya kalau Bapak emang bakal panjang umur, seperti yang sering Bapak bilang dulu.

Kamis, 20 Juli 2017.


Jam 4 kurang 10menit, masih sekitar setengah jam menuju adzan Subuh, Bapak akhirnya MENYERAH. Bapak akhirnya memilih untuk PULANG. Kembali ke rumah dengan TENANG, dan tentu tanpa merasakan sakit apa-apa lagi.

Tepat 1 MINGGU -  waktu yang relatif singkat untuk sebuat PERPISAHAN, bukan?

Tapi, melihat Bapak yang sudah gak merasakan sakit lagi, entah gimana, aku merasa itu jauh lebih baik ketimbang melihat Bapak sakit kaya kemarin. Aku gak tau, perasaan seperti itu namanya ikhlas atau bukan. Yang aku tau, saat itu aku hanya mencoba percaya, kalau ini emang udah yang TERBAIK buat Bapak.

Kalaupun, beberapa saat kemudian, muncul rasa SULIT menerima. Nyatanya, bukan kepergian Bapak yang gak bisa aku terima, tapi lebih ke menyalahkan diri sendiri sih. Aku merasa gak terima, karena aku merasa belum maksimal mengusahakan kesembuhan untuk Bapak, terlebih perasaan yang terlalu yakin kalau Bapak akan baik-baik aja yang bikin aku jadi lalai dan bersikap bodoh banget saat itu. Perasaan-perasaan kaya gini yang awal-awal sangat bikin ngga nyaman. IYA, aku merasa bersalah dan merasa sangat amat teledor pas Bapak lagi sakit.

Butuh waktu yang SANGAT LAMA, untuk benar-benar memahami dan menerima kalau segala yang terjadi di atas muka bumi ini sudah kehendak-NYA. Termasuk, mungkin, keteledoran dan kelalaian yang sudah aku lakukan. Toh, seberapa keras aku menyalahkan diri sendiri, juga tidak akan membuat Bapak kembali lagi. Tidak juga membuat keadaan jadi lebih baik. Aku malah justru merasa semakin sakit, merasa semakin kalah dan lemah.

Saat merasa lemah itu lah, aku kemudian teringat kalau Bapak itu kan selalu ngajarin aku buat jadi KUAT. Dan, betapa malunya aku, kalau Bapak tau, anaknya tiba-tiba menjadi selemah itu. Aku pikir, Bapak pasti gak suka kalau aku begitu. Jadi, kadang kalau mulai melemah aku ingat itu aja untuk mengembalikan keadaan.

Surat Terakhir Untuk Bapak

1 Bulan berselang setelah Bapak gak ada. Sejujurnya, sulit sekali membiasakan diri hidup tanpa Bapak. Masalahnya, Bapak itu sehari-harinya banyak menghabiskan waktu di rumah. Di setiap sudut rumah ini, pasti ada kenangan tentang Bapak. Di ruang TV, di kursi teras, di dapur, di halaman depan, di warung, semuaaanya. Malah, aku sempat punya ide gila untuk pindah rumah sementara waktu, yang jelas ditolak mentah-mentah sama Ibu. "Percuma, mau pindah ke mana juga. Kan yang bikin keinget teh pikiran. Pikirannya mah kan dibawa-bawa" Kurang lebih kaya gitu Ibu menimpali keputusasaanku.

Dan MALAM, adalah waktu yang TERBERAT buat aku. Karena, di malam hari lah banyak waktu yang aku habiskan berdua sama Bapak. Kadang, kita ngobrol ngalor ngidul sampai dini hari. Seringnya, tiap malam pulang dari warung, aku sempetin dulu buat nemenin Bapak ngobrol sebelum biasanya lanjut begadang kalau lagi ada kerjaan. Dan disaat begadang gitu, Bapak yang emang suka susah tidur, hampir pasti selalu ada di ruang TV. Menghabiskan malam dengan caranya sendiri. Kalau lapar, kadang Bapak masak Indomie, untuk kemudian ia bagi setengahnya sama aku. Jadi tau kan sekarang, kenapa aku selalu aja gagal diet? :’))

Lalu, tiba-tiba aja, aku harus berhadapan dengan keadaan, di mana saat membuka pintu kamar, ruang tamu yang biasanya masih ada kehidupan, kini hanya tersisa gelap dan sepi. Gak ada lagi, orang yang biasanya anteeeng banget nonton TV sambil nunggu ngantuk itu udah gak ada. Dan percayalah, rasanya sungguh sangat MENYESAKKAN.

Sebelum ini, aku yakin banget lho kalau Bapak gak ada aku gak akan merasa kehilangan. Toh, Bapak selama ini memang selalu ngajarin aku untuk menjadi mandiri, untuk tidak bergantung pada siapapun, termasuk sama Bapak. Jadi, aku merasa bisa, merasa mampu, dan merasa akan baik-baik aja kalau Bapak gak ada.

Yang baru aku sadari kemudian, kita gak butuh merasa ketergantungan dulu untuk merasa KEHILANGAN. Nyatanya, dari hal remeh temeh yang sering kita (Aku dan Bapak)  lakuin bareng aja tuh udah bisa bikin aku benar-benar ngerti gimana RASAnya KEHILANGAN. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang bahkan gak “masuk ukuran” untuk jadi sebuah peristiwa penting atau bersejarah, itu yang justru SANGAT membuat aku merasa benar-benar KEHILANGAN. Aku baru paham, kalau Rasa KEHILANGAN itu memang NYATA adanya.

Surat Terakhir Untuk Bapak
foto terakhir alm Bapak yg aku ambil 18 hari sebelum beliau berPULANG
Tapi dibalik rasa kehilangan, tetap terselip rasa syukur yang tak terhingga, menyadari sebuah kenyataan, bahwa sebetulnya aku ini termasuk BERUNTUNG, karena sebelum Bapak meninggal, sudah banyak WAKTU yang kita habiskan bersama, dan sudah banyak juga KENANGAN TERBAIK yang terjadi selama itu. Dan aku , merasa sangat HARUS BERSYUKUR untuk itu :’))

Dan sekarang, 55Hari terlah berlalu.

Yang aku tau saat ini, aku hanya harus bisa lebih menghargai arti dari sebuah KEBERSAMAAN (dalam hal ini utamanya kebersamaan sama Ibu, satu-satunya Orangtua yang tersisa). Pun, Ibu adalah satu-satunya hal yang di WARISKAN Bapak buat Aku. Aku gak akan pernah lupa, betapa bangganya Bapak, karena menurutnya, Aku ini anak yang cukup nurut sama Ibu. Aku ingat betul, Bapak ngomong gitu sambil kemudian matanya berkaca-kaca. Hal yang paling Bapak junjung tinggi selama ini memang tentang memuliakan Ibu (aslinya, memuliakan kedua Orangtua sih harusnya kan, tapi Ibu prioritas). Dan sepertinya, Bapak merasa "berhasil".

Surat Terakhir Untuk Bapak

Surat Terakhir Untuk Bapak

See? Betapa mudahnya membuat Bapak bangga! Betapa sederhana cara pandang Bapak. Bapak gak pernah nuntut aku untuk jadi ini itu. Gak pernah sama sekali. Yang bahkan, untuk membuatnya bangga aku juga gak perlu ngelakuin hal-hal yang luar biasa, hanya cukup dengan ngelakuin apa yang seharusnya aku lakuin! ~

Dear Bapak,


Terima kasih untuk 25Tahun yang SANGAT LUAR BIASA ini.

Terima kasih untuk sudah mengajarkan banyak hal.

Terima kasih untuk pernah dan akan selalu jadi Inspirasi.

Terima kasih untuk sudah pernah bilang, "Dalam hidup kita boleh SALAH, yang gak boleh itu BOHONG" Ini insyaALLAH aku pegang banget.

Terima kasih untuk KASIH SAYANG, yang kadang bias dipandangan mata.

Terima kasih untuk selalu percaya kalau aku PASTI BISA melakukan apapun.

Terima kasih untuk sudah menjadi BAPAK dari seorang anak bernama Rani Novariany.

Allahummaghfirlahu warhamhu, wa'aafihi wa’fu’anhu.

R.I.P Bapak ~


Surat Terakhir Untuk Bapak
Jarang foto bareng. Ini foto waktu idul fitri 3 Tahun lalu :( 28 Juli 2014

14 comments

  1. Rani, turut berduka cita ya :"(
    semoga Bapak diampuni dosa-dosanya, diterima amal ibadahnya
    Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. aamiin aamiin aamiin.
      Makasiii doanya kak Mia :*

      Delete
  2. Terima kasih untuk sudah pernah bilang, "Dalam hidup kita boleh SALAH, yang gak boleh itu BOHONG" Ini insyaALLAH aku pegang banget.

    Word banget!!!
    Bapak pasti bangga banget sama Rani dan di mataku,kamu memang anak yang baik dan berbakti. Tetaplah manjadi anak bapak yang sholehah, karena doamu lah yang membuat hangat, terang, lapang kuburnya. Inshaa Allah bapak ditempatkan di tempat terbaik dan terindah.
    Peluk sayang dari siniiii

    ReplyDelete
    Replies
    1. Akkk Bundaaaa komennya bikin idung kembang kempis nihhehehe.
      Iyaa bund, insyaAllah, kewajiban terakhir itu teh ya, jadi anak sholehah, mudah2an mah bisa :D
      Aamiin. makasih untuk doa dan supportnya ya bund.
      Salam dan peluk jauhh dari Ciapus :**

      Delete
  3. Tetap semangat Ran,kamu pasti bisa 💪💪

    ReplyDelete
    Replies
    1. InsyaAllah kak, makasiii yaa untuk supportnya :*

      Delete
  4. Semoga kesedihan ini nggak mematahkan semangat untuk terus menjadi permata hati kebanggaan bapak.. :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. InsyaAllah ngga kak penyuu. Makasiii yaaa kak :**

      Delete
  5. Innalillahi...
    Raniiii 😭😭😭😭
    Maaaaf banget karena aku gak ada sewaktu kamu dapat cobaan ini. Baru baca juga, baru tahu 😭😭😭😭 maaf yaaaa...
    Yang sabar, sayangs...kamu kuat!
    Semoga Rani dan Ibu selalu sehat 🙏🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin, iyaa kak gak apaa. Makasiii banyakkk yaa kak untuk doa dan supportnya :* :**

      Delete
  6. Dear mba Ani. Please dont be sad. Saya juga sudah 3 tahun ditinggal ayah. Bahkann 2 tahun lalu sudah ditinggal ibu. Saya bisa memahami apa yang dirasakan mba Ani. Biarlah ayah ayah kita "pulang" terlebih dahulu. Insya Allah kita kita anaknya akan kembali bertemu ayah ayah kita di Syurga. AMin ya Allah Amin Ya Robbal Alamin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin aamiin. Iyaa kang, makasiii banyak yaa kang :))

      Delete
  7. al fatihah

    Semoga almarhum husnul khotimah. Aamiin

    ReplyDelete
  8. Tulisan yg sangat menyentuh, Ran. Aku terharu bacanya.

    Allahummaghfirlahu warhamhu wa'aafihi wa'fuanhu.

    ReplyDelete