Buah Manis Penerimaan

Bosan kuberjalan menghitung hari lewat kalender, lebih membosankan lagi karena hal itu kulakukan sambil menunggu. Bukankah menunggu sesuatu itu selalu terkesan membosankan? Terlebih jika menunggu sesuatu yang tidak pasti. Hampir dua tahun aku menunggu, dan kuhabiskan hari-hari itu dengan setia tanpa balas. Dia, yang pergi ke kota kelahirannya, Surabaya. Yang pergi tanpa kabar berita, yang tiba-tiba saja raganya hilang tak menyapa. Tapi aku, masih setia mengharapnya. Berharap dia akan kembali lagi, berharap dia masih untukku. Dan tentu, berharap Tuhan mau menjodohkannya denganku.

Ah, Doaku terjawab sudah. Tuhan membawa dia kembali untukku, dia yang selama ini kurindukan, sangat. Malam ini dia datang ke rumah, saat menatap matanya kurasa pilu. Ayah, Ibu, juga sekeluarga besarku hadir di sana. Melihat dia di depan gerbang mematung sendiri. Kupersilakan dia masuk, berbaur dengan keluarga besar, tak lupa juga kubuatkan teh manis kesukaannya, masih dengan takaran yang sama. Tak hentinya ia memohon maaf pada ayah dan ibu, karena telah meninggalkanku begitu saja. Itu semua hanya karena ketidaksiapannya meminangku dua tahun yang lalu. Ahh, alasan klise bukan?. Serta merta ia juga menyampaikan niatannya, yang kembali untuk meminangku karena sekarang ia telah merasa siap. Aku tersentak kaget, ada gemuruh kecil dalam dadaku. Juga pertanyaan, haruskah aku menerimanya lagi?

Rasanya dua tahun penantianku berbuah manis, namun bukan karena kedatangannya malam tadi. Justru karena, dua tahun aku mencoba menerima segalanya, belajar merangkai makna ikhlas yang sempat tercecer. Dan akhirnya kini, aku menerima lebih dari apa yang aku inginkan. Berkumpulnya keluarga besarku malam tadi itu adalah syukuran undangan untuk pernikahanku yang akan terlaksana satu minggu lagi. Iya, Tuhan mengirimkan seorang Kapten Bhirawa padaku. Yang sebelumnya telah kulihat ia dalam mimpi indah seusai shalat malamku beberapa bulan lalu. Kapten Bhirawa, yang setia selama dua tahun mengirimiku surat cinta yang tak pernah kubalas sekali pun. Sampai tiba saatnya, Tuhan menggerakkan hatiku seraya berjalan kearahnya.

Dan dia, lelaki yang sempat aku harapkan menjadi jodohku. Setelah mendapat penjelasan dari ayah dan ibu, aku tak dapat lagi menerawang isi hatinya. Ia pulang dengan meninggalkan senyum getir padaku, juga sepatah kata selamat yang ia ucap dengan terbata-bata. Aku juga memberinya satu undangan, entah dia akan datang atau tidak. Aku hanya bisa mendoakan agar ia bertemu dengan jodohnya secepatnya...

Cerita ini diikutsertakan pada Flash Fiction Writing Contest:Senandung Cinta

No comments