Cerita sebelumnya ada di sini.
Ngagondang |
Masih ditemani gerimis yang membuat suasana semakin syahdu*aaiiih saat rombongan turun dari mobil, kami disambit *ehh disambut sama pertunjukkan yang namanya ngagondang. Pertunjukannya berupa, beberapa Ibu memukul-mukul lisung dengan alu (alat menumbuk padi), yang dipukul secara bergantian tapi dalam tempo cepat jadi tetap berirama gitu deh. Usai acara sambutan, ada Abah sama Ambu yang juga ikut menyambut kami di pintu rumahnya. Rumah panggung, dengan lantai kayu, dinding bilik tanpa kapur, dan masih beratap injuk. Meski begitu, kayu-kayu penyangga rumah nampak kokoh, memberi kesan bangunan yang megah. Diatasnya tertulis Imah Gede (rumah besar) lengkap dengan tulisan aksara sunda.
Simbolis pemakaian ikat kepala |
Sebelum dipersilakan masuk, Abah memakaikan iket (ikat) sunda kepada salah satu peserta. Semacam kain yang diikat untuk melindungi kepala, tapi ikatan ini ada filosofinya tersendiri. Kami pun diajak masuk ke dalam rumah dan banyak sekali foto-foto yang terpajang di bilik, beberapa diantaranya orang-orang yang pernah datang ke Kasepuhan ini, sebentar lagi foto kami menyusul :p Belum lagi, gelaran karpet lengkap deretan toples dan piring berisi aneka macam cemilan. Ada wajit, kembang goyang, ranginang, pangsit, kue ali, donat sampe keripik pisang, ada lengkap semua. Pokoknya, perjalanan melelahkan tadi terbayar lunas deh pas liat ranginang (rengginang).
Susuguh |
Sambil menyantap cemilan, acara dibuka dengan santai oleh pemandu acara, dilanjut sambutan dari penanggung jawab acara yaitu Ibu Dona, dan juga ada sambutan dari Abah dan Ambu. Beberapa hal yang disampaikan Abah adalah tentang kehidupan di Kasepuhan beliau. Yang mana, ada 73 kepala keluarga yang masih memegang teguh adat istiadat, tradisi dan budaya Sunda. Semacam, gak boleh bangun rumah dan gak boleh menikah di bulan tertentu. Dalam beberapa kesempatan, Abah menekankan bahwa kita itu harus bisa hidup berdampingan dengan alam, sehingga alam dan manusia akan bersinergi dengan seimbang. Abah juga bilang kalau di sana panen padi dilakukan hanya setahun sekali *sementara sodara aku yang di Cibadak 3 bulan sekali udah panen. Aku paling suka pas Abah mengibaratkan ini, langit ibarat Bapak, dan bumi ibarat Ibu. Jadi, gak mungkin kan dalam setahun seorang Ibu melahirkan dua kali? Terlebih, ada unsur melatih kesabaran dalam hal menanam dan merawat padi, saat memanen, sampai itu padi bisa jadi sepiring nasi. Itu seolah menunjukan kesabaran itu selalu berbuah manis.
Yang mencengangkan, ada fakta bahwa di daerah Abah itu terdapat banyak sekali jenis padi yang ditemukan. Jumlahnya mencapai ratusan, dan sekarang ada 60an yang masih bertahan. Abah gak mau kalau sampai varietas padi itu sampai jatuh ke orang asing atau parahnya lagi diklaim hak miliknya oleh mereka. Makanya, Abah setuju dengan programnya Dompet Dhuafa, yang mengusung program Bank Benih, juga program Pertanian Sehat. Dompet Dhuafa juga memberi bantuan untuk pengadaan lahan dan beberapa kebutuhan pendukung lainnya. Abah dan Ambu, juga warga sangat mengapresiasi program-program Dompet Dhuafa, dan merasakan langsung manfaatnya.
Ada lagi yang menarik, jadi meskipun gak semua warga memiliki sawah, tapi setiap rumah warga wajib memiliki leuit atau lumbung padi. Dan ada satu lumbung milik bersama, yang namanya leuit si jimat, kegunaannya bila satu waktu ada warga yang ingin meminjam padi, bisa datang ke Abah dan mengambil sendiri padi (disebut Pare dalam bahasa sunda) yang ingin dipinjam dan mengembalikan sesuai dengan yang dipinjam. Ya, semacam koperasi gitu ya kerennya. Leuit si jimat ini diisinya sama pendapatan panen warga, dengan perhitungan, kalau warga panen 50 iket (disebut pocong), maka 1 iketnya harus disimpan di leuit si jimat itu. Yang gak kalah menarik, rumah-rumah di sini gak ada yang di kunci. Pun begitu sama leuit-leuit-nya gak pernah di kunci. Sistem kepercayaan benar-benar diterapkan di sini.
Selesai bincang singkat tapi penuh makna sama Abah dan Ambu, para peserta pun dipersilakan untuk istirahat di rumah warga sampai menjelang ba'da isya nanti, karena akan ada pertunjukan daerah lagi malamnya. Rumah yang aku tempati ada sekitar 5 kamar, dengan kapasitas 3 orang/kamar. Yang bikin amazing, ranjang kayunya ampeg (kokoh) banget, gak ada ceritanya takut rubuh deh!
Sementara yang lain istirahat, Aku ngajak Ka Desi sama Ka Yuri buat jalan-jalan, gerimis sesekali masih turun. Jadi, aku foto-foto dulu di depan imah gede. Pas gerimis udah mulai reda, kita jalan-jalan sambil (pastinya) foto-foto lagi. Sampai menjelang maghrib, kita baru deh balik ke tempat istirahat, mandi dan bersiap sholat maghrib. Ba'da maghrib ada panggilan buat makan malam! Asiiik, ini kan yang ditungguin??
Hmm, Kira-kira apa ya menu makan malam kalau di pedesaan gini? Apa semacam menu makan seadanya gitu? Tunggu di tulisan selanjutnya yaaa *bersambung...
wah,asik ya..aku penasran sama aksara sunda mbak,kalo ada fotonya dong hehe...kpk harus kesini nih,buat percontohan desa anti korupsi,lha rumahnya kan g dikunci hehe. hebat ya...masih mempertahankan tradisi,keren
ReplyDeleteih seru ya kunjungannya
ReplyDeleteRumahnya asri and adem gitu kesannya Kak...
ReplyDeletewah pasti seruu abis nih acara mantap raniyy...
ReplyDeleteijin membacanya ya mbak and salam kenal ya :D
ReplyDeletesuka dengan kondisi tradisionalnya, ternyata sistem koperasi udah mengakar dari zama dulu kala ya..
ReplyDeletecara yg masih tradisional banget yg dipakek ya
ReplyDeleteWow! Itu baru namanya ibu-ibu perkasa.
ReplyDelete